Hari Anti Penyiksaan: Usut Tuntas Meninggalnya Tahanan di Polres Banyumas

NKRISATU.COM –  Hari Anti Penyiksaan: Usut Tuntas Meninggalnya Tahanan di Polres Banyumas
Pada hari Rabu, 17 Mei 2023, anggota Kepolisian Resor (POLRES) Banyumas
menangkap seorang yang berinisial OK (26 tahun) yang disangka melakukan tindak pidana
pencurian. OK diamankan di rumahnya tanpa adanya surat tembusan kepada keluarga.
Salinan surat perintah penangkapan, surat perintah penahanan dan SPDP kemudian baru
diberikan kepada keluarga pada tanggal 20 Mei 2023 (3 hari setelah penangkapan) dengan
disertai perintah untuk tidak menjenguk OK sampai 20 hari kedepan. Atas perintah tidak
boleh menjenguk, keluarga tidak tahu menahu kondisi OK setelah ditangkap. Namun, pada
tanggal 2 Juni 2023 (16 hari sejak di tangkap) waktu menjelang siang hari keluarga mendapat
kabar melalui Kepala Kepolisian Sektor (KAPOLSEK) Baturaden dengan datang ke rumah
bahwa OK dirawat di RSUD dr. Margono Soekarjo Banyumas dalam kondisi kritis. Ketika di
jalan barulah keluarga diberitahu bahwa OK sudah meninggal.
Sesampainya di RSUD dr. Margono Soekarjo, ternyata sudah banyak personil
kepolisian yang berjumlah lebih kurang 15 orang menunggu. Keluarga berniat ingin melihat
jenazah OK di ruang jenazah, tetapi dari pihak kepolisian melarangnya. Tetapi, keluarga
bersikeras untuk bisa melihat jenazah untuk yang terakhir kalinya dan meminta alasan
kematian. Pihak rumah sakit menjelaskan bahwa OK meninggal karena sakit ginjal dan liver.
Karena merasa ada yang janggal, sesampainya di rumah saat jenazah diantarkan, keluarga
berinisiatif untuk membuka jenazah dan didapati bahwa tubuh OK penuh luka-luka.
Korban atas nama OK sempat ditayangkan dalam program Jatanras milik NET TV
saat diamankan dari rumahnya. Saat proses penangkapan, OK dalam keadaan sehat dan tanpa
luka. Namun, saat diangkut dalam mobil kepolisian, dalam tayangan Jatanras NET TV
memperlihatkan OK sudah dalam kondisi badan berlumur darah dan sempat ada ancaman
akan di lobangi (ditembak) jika tidak kooperatif. Keluarga OK menduga pada saat setelah
penangkapan OK disiksa oleh aparat kepolisian. Keluarga juga menduga ada yang tidak beres
dari proses hukum OK dan ingin meminta membuka secara luas tabir dibalik kematian OK.
Pada hari Rabu, 21 Juni 2023 keluarga korban OK mengadu dan meminta
pendampingan kepada YLBHI-LBH Yogyakarta untuk membantu mengusut kasus kematian
OK. Dengan melakukan telaah awal dan pendalaman, YLBHI-LBH Yogyakarta memutuskan
untuk mendampingi sebagai kuasa hukum. Kemudian pada hari ini Selasa, 27 Juni 2023
bertepatan dengan masih hangatnya momentum Hari Anti Penyiksaan Internasional, kami
YLBHI-LBH Yogyakarta dan keluarga korban OK melakukan konferensi pers dengan
mengundang partisipasi jurnalis dan awak media di kantor LBH Yogyakarta untuk
memberikan catatan atas kasus OK terkait dugaan pembunuhan diluar proses hukum /
putusan pengadilan (Extra Judicial Killing).
Kami menduga terdapat beberapa pelanggaran prosedural dan pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi dan telah dilanggar oleh anggota kepolisian POLRES Banyumas dalam
proses penangkapan yang ditayangkan dalam acara Jatanras NET TV. Pertama, tidak
memberikan akses bantuan hukum kepada OK untuk dapat membela hak-haknya. Kedua,
pelanggaran pada Pasal 33 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
menjelaskan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan yang tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat kemanusiannya.
Kami juga melihat ada tindakan yang mencederai asas praduga tak bersalah
presumption of innocence yang pada intinya tidak boleh seorangpun dihakimi atau tidak
boleh seseorang dianggap bersalah sebelum ada putusan hakim atau pengadilan. Indonesia
telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dalam UU No. 12 tahun
2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang pada Pasal 9 ayat (1) yang pada
pokoknya menjelaskan bahwa tidak seorangpun dapat ditangkap atau ditahan secara
sewenang-wenang. Terkait dengan luka-luka yang ditemukan di sekujur tubuh, kami
menduga terdapat sinyalemen pelanggaran atas konvensi anti penyiksaan yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention
Against Tortureand Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). Terlebih lagi, pada Pasal 13 Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi
Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia diatur tentang dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas
Polri dilarang: a. melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk
mendapat informasi, keterangan atau pengakuan.
Pada pokoknya kami LBH Yogyakarta selaku kuasa hukum dari keluarga korban
memberi sikap dan mendesak agar:
1. Mengecam segala bentuk tindakan penyiksaan sebagaimana diatur dalam Konvensi
Anti Penyiksaan:
2. Kepolisian melalui Mabes Polri atau setidak-tidaknya Polda Jateng melakukan
pengambilalihan untuk bertanggung jawab dengan mengusut tuntas dan menghukum
pelaku penyiksaan dengan seadil-adilnya serta memberikan fakta-fakta yang sesuai
dengan kaidah hukum;
3. Menonaktifkan anggota kepolisian yang terlibat memberikan perintah dan yang
terlibat melakukan penangkapan dan penahanan terhadap OK, serta melakukan proses
hukum terhadap mereka yang diduga kuat melakukan penyiksaan berujung kematian;
4. Negara harus bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan
hak-hak keluarga OK melalui lembaga-lembaga terkait;
5. Menyerukan kepada publik untuk mengawal segala proses pencarian fakta-fakta dan
penegakan hukum serta mendukung keluarga OK untuk berjuang meraih kebenaran
dan keadilan (RedChris)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*