Memandang Konflik Ukraina dan Rusia

Memandang Konflik Ukraina dan Rusia
Penulis* : Jeannie Latumahina
*Ketua Relawan Perempuan dan Anak Perindo*
Jakarta 5 Maret 2022
Sudah sejak 24 Februari setelah Presiden Putin menyatakan operasi militer terhadap Ukraina, pasukan Rusia mulai menyerang wilayah Ukraina. Sebenarnya sudah sejak lama perseteruan antara Rusia dan Ukraina memanas dan diperkirakan akan berakibat perang terbuka.
Dua hari lalu Indonesia menyatakan untuk stop perang antara Rusia dan Ukraina tanpa ada memihak kedua belah pihak. Dan selanjutnya Indonesia bersama 141 negara dunia menyetujui Resolusi PBB untuk menghentikan perang Rusia dan Ukraina.
Sikap tidak memihak satu ;pihak yang berperang selain daripada menghentikan perang yang terjadi. Adalah sikap yang benar dan sesuai dengan prinsip politik bebas dan aktif, dengan mengedepankan jalan perundingan ketimbang melalui perang yang tentu akan mengorbankan nyawa rakyat
Antara Rusia dan Ukraina, sebenarnya memiliki sejarah panjang tidak saja sebatas Ukraina yang sebelumnya adalah juga bagian dari Uni Soviet. Namun lebih daripada itu karena kedua bangsa tersebut dapat dikatakan masih satu rumpun bangsa.
Mungkin sejarah panjangnya Rusia dan Ukraina dapat saja disebut seperti antara Indonesia dengan Malaysia dengan kesamaan bahasa satu rumpun. Sehingga semasa keberadaan Uni Soviet, dimana kota Kiev ibu kota Ukraina adalah kota besar kedua setelah Moscow ibu kota Rusia.
Berakhirnya perang dingin antara Sekutu dan Uni Soviet yang diawali dengan bubarnya Uni Soviet, kembali menjadi negara-negara yang berdiri sendiri. Tentu saja tidak berarti bahwa pertentangan antara Blok Barat melalui NATO (pakta pertahanan Atlantik Utara) dalam hal ini Amerika dengan Rusia disatu sisi dapat hilang begitu saja.
Keduanya memiliki kemampuan yang sepadan dalam persenjataan pemusnah masal yaitu nuklir dan juga tehnologi tetap dalam persaingan yang tidak reda. Dimana keduanya saling melihat sebagai ancaman nyata.
Rusia tentu menginginkan bahwa negara-negara bekas Uni Soviet tetap berada sebagai pihaknya atau paling tidak sebagai negara yang netral tidak memihak Amerika dan sekutunya. Sebenarnya hal ini dapat dimaklumi, mengingat tidak ada satupun negara yang menginginkan negara tetangga sebelah, berada sebagai ancaman bagi kedaulatan negaranya.
Hubungan Rusia dan Ukraina sebelumnya baik-baik saja, sampai kemudian Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bermaksud menjadi anggota NATO.
Perlu diketahui bahwa begitu bubarnya Uni Soviet, sejumlah negara bekas Pakta Warsawa kemudian menjadi anggota NATO, pertama-tama Hungaria, Polandia dan Republik Ceko bergabung pada 1999.
Lima tahun kemudian, pada 2004, NATO menerima Bulgaria, Estonia, Latvia, Lituania, Rumania, Slovakia, dan Slovenia. Albania dan Kroasia bergabung pada 2009. Penambahan terbaru adalah Penambahan terbaru adalah Montenegro pada 2017 dan Makedonia Utara pada 2020. Sehingga sekarang anggota NATO menjadi 30 negara.
Kemudian belakangan ini tiga negara disebut-sebut bermaksud menjadi anggota NATO yaitu Bosnia-Herzegovina, Georgia dan Ukraina.
Inilah yang kemudian membuat Rusia menjadi berang, mengingat bahwa Ukraina adalah wilayah terbesar kedua dari bekas Uni Soviet dimana Ukraina bersama Belarus terdapat banyak sekali kepentingan negara Rusia berada yaitu terdapatnya pipa penyaluran migas dari Rusia ke Eropa, yang melalui Ukraina, Belarus dan Polandia. Selain tentunya keberadaan persenjataan nuklir eks Uni Soviet dan sumber daya alam bagi kedua belah pihak.
NATO sendiri akhirnya juga menolak keinginan Presiden Zelensky, untuk ikut membantu Ukraina dalam menghadapi Rusia. Karena tentunya NATO juga melihat bahwa 30 negara anggotanya juga memiliki ketergantungan energi dari Rusia, ketika negara Eropa Barat menghadapi krisis energi belum lama ini.
Presiden Putin juga mengajukan syarat penghentian perang terhadap Ukraina, yaitu demilitersasi Ukraina, dan kontrol terhadap bagian timur Ukraina serta Krimea.
Jika dilihat dari akar masalah ini maka dapat terlihat bahwa perang Rusia terhadap Ukraina ada dua sisi yaitu pertama melindungi kepentingan hidup bangsa Rusia. Dan menghardik NATO untuk tidak lagi melakukan gangguan-gangguan terhadap Rusia.
Kembali kepada sikap Indonesia yang tidak menyebut Rusia melakukan Invasi terhadap Ukraina, juga tidak mendukung jalan perang serta seruan hentikan peperangan sungguh tepat melalui Resolusi PBB sudah sangat tepat.
Karena politik luar negeri Indonesia adalah bebas dan aktif, serta terus mendukung ketertiban dan perdamaian dunia tanpa ada memihak pihak manapun. Maka tentunya negara Indonesia juga berharap tidak ada negara manapun yang melakukan usaha merusak kehidupan berbangsa rakyat Indonesia.
*Sabtu 5 Maret 2022*

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*