Refleksi Awal Tahun 2022 Tentang PenegakN Hukum dan Keadilan
Jakarta, 4 Januari 2022 –
Sudah hampir sedasa windu Indonesia berdiri sebagai scbuah bangsa yang merdeka, melapaskan diri dari penjajahan untuk menapaki kehidupan kebangsaan yang bebas dalam arti bahwa rakyat Indonesia memiliki kedaulatan. Kedaulatan sebagaimana dimaksud tercermin pada saat rakyat memiliki posisi untuk membangun dan menentukan nasibnya sendiri di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dikenal dengan sebutan kedaulatan rakyat (popular sovereignity). Gagasan itu meyakini dengan sepenuhnya bahwa kehendak rakyat adalah satu satunya sumber kekuasaan bagi setiap pernerintahan.
Untuk mengupayakan merumuskan berbagai infrastruktur bagi berdirinya negara yang hendak diamanahi untuk memperjuangkan cita mulia tersebut. Undang-undang Dasar Negara tahun 1945 merupakan salah satu yang paling fundamental sekaligus sebagai bentuk pemenuhan syarat berdirinya sebuah negara yang berkedaulatan rakyat berdasarkan pada Pancasila. Pancasila telah menjadi sumber dari segala sumber hukum, sedangkan UUD 1945 merupakan sumber dasar dari perumusan peraturan perundangundangan yang merupakan resultate dari adanya semangat memperjuangkan dan mewujudkan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat tercermin pada saat rakyat memiliki posisi dan wewenang untuk membuat aturan-aturan dasarnya sendiri dengan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan ukuran dari keberhasilan.
Dalam rangka mewujudkan keadilan sebagaimana dimaksud, maka hukum haruslah tegak. Walapun keadilan tidak nampak pada permukaan, tapi keadilanlah yang merupakan unsur pokok dari hukum tersebut. Hukum merupakan eksistensi dari suatu esensi, yaitu keadilan. Dengan ini dapat dikatakan bahwa hukum di dalam Negara kesatuan Republik Indonesia harus mencerminkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Bila tidak, maka hukum yang berjalan itu sudah menyimpang dari ground norm pun dari staatsfundamentalnorm. Mengingat betapa pentingnya hukum bagi pencapaian kedaulatan rakyat maka penegakan supremasi hukum tersebut juga menjadi salah satu dari 6 (enam) tuntutan reformasi sebagai awal dari perubahan sistem hukum di Indonesia.
Sudah lebih dari 76 tahun Indonesia merdeka dengan pemerintahannya, tetapi apa yang kita lihat sampai pada penghujung tahun 2021, kedaulatan rakyat yang tercermin lewat keadilan tersebut masih sangat jauh dari harapan.
1. Mouna Wasef dari ICW mengungkapkan 57,496 lahan dikuasai korporasi-korporasi besar. Bila tinjauan ditambah dengan lahan inti dan plasma, penguasaan lahan oleh mereka bisa sampai 956. Dalam laporan itu disebutkan terdapat 25 taipan yang menguasai lahan mahaluas itu. Kondisi ini sama sekali tidaka mencerminkan keadilan, meskipun secara hukum sudah diatur tentang batasan-batasan penguasaan lahan dan bahkan UUD 1945 telah menegaskan bahwa faktor-faktor produksi penting harus dikuasi oleh negara dan sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 UUD 1945, Praktik penyelenggaraan negara tidak mampu mewujudkan kesejahteraan sebagaimana dimaksud. Semua itu terjadi karena hukum tidak dijalankan dengan baik dan tidak ada upaya untuk menegakkannya.
2. Hal yang sama juga terjadi pada aspek lain utamanya ideologi. Belakangan kita banyak menyaksikan bagaimana pemerintah menjadikan Pancasila sebagai Apologia pro Vita Sua untuk menghantam lawan-lawan politik bahkan untuk membungkam kelompok kritis yang semestinya malah menjadi bahan bagi para pengambil kebijakan untuk menciptakan kebijakan yang lebih baik, lebih pro kepada rakyat. Bukankah kritik sendiri merupakan bagian daripada demokratisasi yang telah disepakati?. Banyak pengajian-pengajian dan juga perkumpulan-perkumpulan yang dibubarkan dilarang secara sepihak karena dianggap merong-rong persatuan dan kesatuan, mengancam dan berupaya untuk mengganti Pancasila. Sangat ironis dengan kenyataan bahwa lembega-lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang kearah permasalahan itu justru dikuasai oleh pemerintah (parta: pemerintah).
3. Dalam rangka menciptakan standart tersebut, Pemerintah bahkan telah membawa Pancasila yang merupakan groundnorm ke ranah kekuasaan dengan membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang bisa jadi dianggap sebagai penafsir tunggal terhadap perbuatan-perbuatan yang toalawan Pancasila. Meskipun sudah direvisi di dalam prilegnas, tetapi dalam catatannya, BPIP mengajukan RUU yang berisi soal upaya memunculkan astilah trnsila dan ekasila. Hal itu merupakan rekam jejak yang buruk yang justru mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Setiap kritik yang mengarah pada pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan melibatkan kelompok-kelompok yang pro pemenntah selalu dilaporkan. Dengan cepat dan sigap aparat penegak hukum menindaklanjuti setiap laporan-laporan tersebut sampai proses akhir. Dilain sisi, pelaporan yang dilakukan olch kelompok-kelompok oposisi (yang tidak atau kurang bersepakat) dengan kebijakan pemerintah sangat jarang direspon dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum tajam ke kiri tapi tampul ke kanan.
5. Masih banyak laporan-laporan di kepolisian yang melibatkan para pendukung atau kelompok pro pemerinta tidak diproscs oleh kepolisian tanpa alasan yang jelas. Sementara itu undang-undang ITE selalu dijadikan dasar untuk melakukan penangkapan tanpa mengindahkan fakta dan pengaturan serta norma-norma lain yang berhubungan dengan etika penyelenggaraan pemerintahan dan pejabat publik.
6. Nyata sekali dalam kasus dipenjarakannya Habib Rizieg Bin Syihab merupakan bentuk pelecchan terhadap hukum serta sangat melukai rasa keadilan. Seseorang yang tiak terbukti melakukan melakukan tindak pidana apapun tetapi dipenjarakan selama 4 (empat tahun). Apakah yang demikian ini bukan merupakan upaya kriminalisasi ulama?.
7. Dalam banyak kasus serupa seperti kasus seorang nenek berusia 92 tahun yang divonis 1 bulan 14 hari penjara karena mencbang pohon durian sebesar lima inci. Kasus nenek Asyani yang berusia 63 tahun divonis bersalah setelah ia didakwa mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dijadikan tempat tidur dan masih banyak lagi kasus yang menyayat hati. Sementara kasus korupsi yang merugikan negara trilyunan rupiah hanya divonis beberapa tahun bakan belakangan KPK mengeluarkan SP3 untuk orang yang terlibat kasus BLBI. Hukum masih tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
8. Upaya-upaya untuk “membungkam” lawan politik tersebut belakangan bahkan melibatkan lembaga-lembaga pemerintahan yang sejatinya tidak memiliki wewenang dalam penegakan bukum seperti halnya dalam kasus Habib Bahas Bin Sumaith yang melakukan kritik dan meluruskan penyataan KSAD Dudung Abdurahman. Kita melihat adanya sejumlah anggota TNI yang dipimpin orang Jenderal bintang satu bernama A. Fauzi mendatangi Pondok Pesantren Tajul Alawiyyin yang diasuh Habib Babar Bin Sumaith membawa pesan dan ancaman agar Habib Bahar diam, tidak menyebar provokasi, atau akan ‘ditangkap’. Peristiwa ini sungguh sangat mencemarkan dan memalukan korps TNI sendiri. Kejadian tersebut merupakan indikasi dari adanya upaya penyalahgunaan kekuatan aparat negara yang berfungsi untuk menjaga kedaulatan Negara, alat pertahanan dan keamanan negara sebagai alat politik oknum TNI. Upaya pembungkaman terhadap hak konstitusional rakyat dalam menyampaikan pendapat seperti kasus tersebut adalah pelanggaran hukum serius.
9. Terakhir dalam kaitan dengan hukum ketatanegaraan yang diawali dari perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 telah mengubah tatanan hukum di Indonesia. Atas dasar semangat demokratisasi dan pembatasan kekuasaan serta upaya mengisi kekosongan hukum yang lain amandemen tersebut dilakukan sebanyak 4 (empat) kali. Tapi apa yang kita saksikan hari ini terkait dengan persoalan presidential threshold atau syarat ambang batas pencalonan presiden yang menetapkan ambang sebesar 20 persen merupakan pengingkaran terhadap semangat perubahan UUD itu sendiri. Upaya menjadikan Presidential threshol sebesar 0% terus digelorakan oleh berbagai elemen masyarakayt, tetapi legislatif seperti tidak menghirauksnnya bahkan cenderung menganggapnya final.
Akhirnya, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia masih sangat jauh dari harapan, tidak mampu menghadirkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu kedaulatan rakyat sebagai semangat utama penyelenggaraan pemerintahan tidak pernah terwujud sampai dengan akhir tahun 2021. Akhirnya kita berharap semoga awal tahun 2022 ini dapat menjadi awal timbulnya kesadaran Bersama untuk menegakkan hukum dengan setegak-tegaknya. Penegakan hukum merupakan tanggung jawab bersama, tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia.
Tim Pembela Agidah Islam ( TPAI) mengecam dengan sangat keras Tindakan-tindakan melawan hukum serta tindakan atau perbuatan yang menggunakan hukum sebagai tameng untuk mempertahankan kekuasaan ataupun untuk memukul lawan-lawan politik. Oleh karena itu kami nyatakan siap sepenuhnya mengkawal penegakan hukum dan keadilan di Republik Indonesia.
Be the first to comment